Kamis, 06 Maret 2014

Sejarah Agama Hindu


Artikel ini adalah bagian dari seri
Agama Hindu
Om
Topik
Mitologi · Kosmologi · Dewa-Dewi ·
Agama Hindu di Nusantara
Sejarah
Sejarah agama Hindu ·
Sejarah Hindu di Nusantara
Lima keyakinan dasar
Brahman · Atman · Karmaphala ·
Samsara · Moksa
Filsafat
Samkhya · Yoga · Mimamsa ·
Nyaya · Waisiseka · Wedanta
Susastra
Weda · Samhita · Brāhmana ·
Aranyaka · Upanisad
Hari Raya
Galungan · Kuningan · Saraswati ·
Pagerwesi · Nyepi · Siwaratri

Bali Omkara Red.png
Kumpulan artikel tentang Hindu
Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan—terutama di India dan Nepal—yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai aliran—di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta—serta suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, dharma, dan norma kemasyarakatan. Agama Hindu cenderung seperti himpunan pelbagai sudut pandang filosofis atau intelektual yang beragam, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam.[1]
Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini,[a] dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai sanātanadharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[b] artinya "dharma abadi" atau "jalan abadi"[11] yang melampaui asal mula manusia.[12] Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.
Sarjana Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India,[13][14][15] dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri yang tunggal.[16] Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan "tradisi lokal yang populer".[14] Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8.[17][18] Dari India Utara, "sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi.[19][20] Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas[21]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai wadah tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa di India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadhu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Śruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu.[22] Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong Śruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmriti, dan Agama (semuanya tergolong smriti).[22]
Dengan penganut sekitar 1 milyar jiwa,[23] agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam.

Etimologi

Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku bangsa di suatu daerah yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk 'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat daya India. Akhirnya, 'Hindu' menjadi istilah padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina, atau Kristen, sehingga mencakup berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan tradisional yang berbeda-beda. Akhiran '-isme' ditambahkan pada kata Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada kebudayaan dan agama kasta brahmana yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah tersebut diterima oleh orang India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa untuk menentang kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah dicantumkan dalam babad berbahasa Sanskerta dan Bengali sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim, sekitar awal abad ke-16.
Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.[24]
Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya anak benua India, yang dalam bahasa Inggris disebut Indus.[24][c] Menurut Gavin Flood, "pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindu".[24] Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Europa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar sungai Sindu.[27] Istilah Arab tersebut berasal istilah Persian Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti "Negeri para Hindu".[28]

Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, ca. 1450) dan beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali, seperti Chaitanya Charitamrita dan Chaitanya Bhagavata. Istilah itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[29] Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.

Karakteristik

Akar Hinduisme

Para ahli di Dunia Barat memandang Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[13][14][15] Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[30][14] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa.[31] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi Shramana atau "tradisi pembantahan" dari India Utara,[32] serta kebudayaan mesolitik dan neolitik di India,[33][34] seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,[35][36][37] tradisi bangsa Dravida,[38] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.[39]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM[13][40] dan ca. 300 M,[13] pada permulaan periode "Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[13][40]—masa ketika dimasukkannya pengaruh shramana dan Buddhisme[40][41]—beserta munculnya tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab smerti.[42][40] Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[43] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun,[44] digunakan untuk menyebarkan "ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf."[45] Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan menyolok daripada Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan smerti).[45] Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan,[17] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[18][w 2]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[46][47] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan pemukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;[48][49] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer;[19][50][51] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[19][20] Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India "diselimuti oleh selubung persamaan konseptual."[52]

Keanekaragaman

Diversitas Hinduisme

Anak-anak Hindu saat perayaan gaijtra di Kathmandu, Nepal.

Ritual keagamaan Hindu di Candi Prambanan, Yogyakarta, Indonesia.



Tari kebaktian yang dilakukan wanita Hindu di Moskwa, Rusia.

Upacara barthaband pooja di Bagmati, Nepal.



Seorang petapa Hindu di tepi sungai Gangga, Benares, India.

Ritus tindik lidah saat thaipusam di Batu Caves, Malaysia.



Perayaan mandi suci (baruni snan) di Bangladesh.

Praktisi yoga melakukan sikap halasana di Zhengzhou, Cina.



Prosesi keagamaan Hindu di Bali, Indonesia.

Anak-anak Hindu dengan pakaian tradisional dari Afghanistan.


Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat kompleks, bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal."[53] Agama Hindu tidak mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan keyakinan atau iman",[24] namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi keagamaan di India.[54][55] Menurut Mahkamah Agung India:
Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri (agama Hindu) itu tidak seperti agama atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama (Hindu) itu merupakan suatu jalan hidup.[56][57]
Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah adanya fakta bahwa agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri agama yang tunggal.[24][16] Agama ini merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan berbeda tetapi memiliki persamaan.[15][13]
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu tidak seragam. Beberapa aliran bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu atau Siwa—sementara yang lain memandang para dewa atau sembahan apa pun sebagai manifestasi beragam dari Yang Mahakuasa.[58] Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap ke seluruh alam semesta, namun alam semesta bukanlah Tuhan.[59] Beberapa filsafat Hindu membuat postulat ontologi teistis tentang penciptaan dan peleburan alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari keselamatan,[24] namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi keagamaan.[60] Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi keselamatan, namun berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang "keselamatan" adalah terbebasnya individu dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.[61]

Persamaan

Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam Hinduisme.[62] Pada umumnya, umat Hindu mengenal Wisnu, yang dalam tradisi tertentu ditafsirkan sebagai entitas yang identik dengan Narayana atau Kresna, sebagaimana Siwa diidentikkan dengan Batara Guru. Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa.[58] Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme—adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (dharma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda,[63] meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya.[64] Sekte Hindu seperti Lingayatisme (Linggayata) bahkan tidak mengikuti Weda, namun memiliki kepercayaan akan Siwa.[65][66] Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai,[67] namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwisme dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwisme dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri,[62] ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi[62] yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar (kepercayaan) secara umum.[62]
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum."[68] Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley.[69] Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme"[63] dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri".[22] Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,[70] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan diri dari kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an.[71] Menurut Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan sekte-sekte dan historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya [...] Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha bernama Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau. Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah, terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang berbagai subjek.[72]
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu dan Neo-Vedanta,[73] serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.[63]

Penggolongan

Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau aliran besar. Dalam suatu kelompok mazhab di masa lalu—yang digolongkan sebagai "enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini disesuaikan dengan mazhab-mazhab besar yang ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme), dan Smarta (Smartisme).[74] Dalam masing-masing golongan, ada beberapa perguruan yang menempuh caranya sendiri, contohnya Waisnawa dengan perguruan Lakshmi-sampradaya, Brahma-sampradaya, Rudra-sampradaya, dan Kumara-sampradaya.

Enam tipe umum

Tari ritual Thidambu Nritham yang diselenggarakan di Kuil Sri Someswari, Koovery, Kerala. Tari ini merupakan salah satu tradisi Hindu lokal di negara bagian Kerala, India.
Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun enam tipe tersebut sebagai berikut:[75]

Religi dan religiositas Hindu

Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.[60]
Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama rakyat dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra).[76] Menurut Michaels, tiga bentuk agama Hindu yakni:
  1. Hinduisme Brahmanis-Sanskritis (Brahmanic-Sanskritic Hinduism): suatu agama politeistis, ritualistis, dan kependetaan yang berpusat pada suatu keluarga besar serta upacara pengorbanan, dan merujuk kepada kitab-kitab Weda sebagai keabsahannya.[60] Agama ini mendapat sorotan utama dalam banyak risalah tentang agama Hindu karena memenuhi banyak kriteria untuk disebut sebagai agama, serta karena agama ini merupakan yang dominan di berbagai wilayah India, sebab masyarakat non-brahmana pun mencoba untuk mengasimilasinya.[60]
  2. Agama rakyat dan agama suku: suatu agama lokal yang politeistis, kadangkala animistis, dengan tradisi lisan yang luas. Kadangkala bertentangan dengan Hinduisme Brahmanis-Sanskritis.[77]
  3. Agama bentukan: tradisi dengan komunitas monastis yang dibentuk untuk mencari keselamatan (salvation), biasanya menjauhkan diri dari belenggu duniawi, dan seringkali anti-Brahmanis.[60] Agama ini dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian:
Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:
  1. Ritualisme: terutama mengacu pada ritualisme Weda-Brahmanistis (Vedic-Brahmanistic ritualism) yang domestik dan butuh kurban, namun dapat juga meliputi beberapa bentuk Tantrisme.[76] Ini merupakan karma-marga klasik.[78]
  2. Spiritualisme: kesalehan intelektual, bertujuan untuk mencari kebebasan (moksa) bagi individu, biasanya dengan bimbingan seorang guru. Ini merupakan karakteristik Adwaita Wedanta, Saiwa Kashmiri, Siwa Siddhanta, Neo-Wedanta, Guruisme esoterik masa kini, dan beberapa macam Tantrisme.[76] Ini merupakan jnana-marga klasik.[78]
  3. Devosionalisme: pemujaan kepada Tuhan, seperti yang ditekankan dalam tradisi bhakti dan Kresnaisme.[76] Ini merupakan bhakti-marga klasik.[78]
  4. Heroisme: bentuk religiositas politeistis yang berpangkal dari tradisi militeristis, seperti Ramaisme dan sebagian dari Hinduisme politis.[76] Ini juga disebut wirya-marga.[78]

Toleransi

Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Swami Vivekananda sebagai perwakilan India mengawali pidatonya dengan salam "Sisters and brothers of America!" dan mendapatkan sambutan yang hangat.[79]
Ia memperkenalkan Hinduisme sebagai agama yang mengajarkan toleransi dan dukungan universal.[80]
Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, sebagaimana kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Dewanagari: एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति
Alih aksara: Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti
Arti: "Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama."
— (RegwedaI:CLXIV:46)
Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan satu kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut menerima segala bentuk keyakinan dan mengabaikan label perbedaan agama yang dapat mengotak-ngotakkan masyarakat.[81] Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui konsep murtad, bidah, dan penghujatan.[82][83][84][w 3] Agama Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menghargai keberadaan berbagai agama yang masing-masing memiliki sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hinduisme bersifat mendukung pluralisme agama dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama, dengan tetap mengindahkan bahwa tiap agama memang mutlak memiliki perbedaan yang tak patut diperselisihkan.
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham
(Aku tak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk. Bagi-Ku tiada yang paling Ku-benci dan tiada yang paling Ku-kasihi. Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula)
— (BhagawadgitaIX:29)
Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain, namun juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan keberadaan beragam tradisi dalam tubuh Hinduisme. Agama Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk memilih suatu pemahaman dan melakukan tata cara persembahyangan tertentu.[85][86][87] Sebagaimana yang tertulis dalam Bhagawadgita:
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah
(Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna)
— (BhagawadgitaIV:11)

Keyakinan

Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.[88] Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha). Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu (namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut) meliputi, dharma (etika/kewajiban), samsāra (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik).[89]

Konsep ketuhanan

Agama Hindu memiliki konsep Nirguna Brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna Brahman (zat ilahi yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti, kualitas feminin dari Tuhan, contohnya Dewi Gayatri (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme.[90][91][w 4][92] Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.[93]
Dalam agama Hindu ada keyakinan bahwa jiwa atau roh—"yang sejati" dalam tiap individu, disebut ātman—bersifat abadi.[94] Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), atman tersebut sama sekali tiada berbeda dari Brahman, yaitu sukma alam semesta. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.[95] Tujuan kehidupan menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya sama dengan Brahman.[96] Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan).[97]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan.[98] Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik semuanya.[99]
Aliran Hindu-dualistis (seperti Dwaita dan Bhakti) meyakini Brahman sebagai Tuhan yang berkepribadian, sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Brahma, Siwa, atau Sakti (tergantung sekte masing-masing). Menurut aliran tersebut, atman bergantung kepada Tuhan, sedangkan pencapaian moksa bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih sayang Tuhan.[100] Apabila Tuhan dipandang sebagai zat mahakuasa yang berkepribadian (daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas), maka Ia disebut Iswara,[101] Bhagawan, atau Parameswara. Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[95] Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Saktisme, Ia disebut Dewi atau Adi parashakti, dan dalam Saiwisme, Ia disebut Siwa.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai awatara dari Brahman.[102] Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud: Wisnu, Siwa, Brahma...Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui (konsep) awatara."[103]
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[104] Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[w 5] Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.[105] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[106] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.[107]

Para dewa dan awatara

Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang tak terhitung banyaknya dan mengikuti aneka upacara untuk memuja dewa-dewi tersebut. Karena merupakan agama Hindu, maka para penganutnya memandang kekayaan tradisi tersebut sebagai ungkapan dari suatu realitas yang kekal. Dewa-dewi yang memanggul senjata dipahami oleh umatnya sebagai simbol-simbol dari suatu realitas sejati yang tunggal.
— Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.[108]
Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi".[109][110] Para dewa merupakan bagian integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita Hindu dan Purana. Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa, dan Purana menjelaskan bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa. Menurut mitologi Hindu, sebelum memperoleh keabadian melalui tirta amerta, mereka adalah golongan makhluk yang berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan mereka berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—Brahma, Wisnu, Siwa—yang disebut Trimurti (beberapa mazhab Hinduisme menganggapnya sebagai tiga wujud dalam satu entitas).
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) yang (cenderung) dipilih.[111][112] Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau menurut tradisi regional dan keluarga.[113]
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia (inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan dharma di masyarakat dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting dalam Mahabharata).

Karma dan reinkarnasi

Dua sadhu di Kuil Pahupatinatha, Nepal.
Sadhu adalah istilah bagi kaum yogi yang sedang berupaya mencapai moksa—lepas dari siklus reinkarnasi—terutama dengan menempuh Raja Yoga, jalan pengendalian pikiran.
Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan,[114] dan dapat dideskripsikan sebagai "hukum moral sebab–akibat".[115] Menurut kitab Upanishad, suatu individu atau jiwa-atma membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara fisik atau mental. Linga sharira—tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih kasar daripada jiwa—dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan selanjutnya, sehingga menciptakan jalan kehidupan tersendiri bagi setiap orang.[116] Maka dari itu, konsep karma—yang universal, netral, dan tak pernah meleset—berkaitan dengan reinkarnasi, demikian pula kepribadian, watak, dan keluarga seseorang. Karma menyatukan konsep kehendak bebas dan nasib.
Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang disebut samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis kuat dalam filsafat Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:
Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang lama,
demikian pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.
Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk menikmati kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk terus menikmati kesenangan tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari belenggu samsara melalui moksa diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian abadi.[117][118] Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya suatu atman akan mencari persatuan dengan sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana, atau samadhi—dipahami dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi hubungan kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada; wawas diri sempurna serta pengetahuan akan diri yang sejati; pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan pelepasan dari segala keinginan duniawi. Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.[119][120] Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan,[121] kematian tidak dipandang sebagai momok menakutkan karena merupakan fenomena alami.[122] Maka dari itu, seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan keinginannya, tidak memiliki tanggung jawab lagi di dunia, atau terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian dengan cara Prayopavesa.[w 6]
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai contoh, mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak lagi mengenali dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik dalam segala hal. Pengikut mazhab Dwaita (dualistis) memandang individu sebagai bagian dari Brahman, dan setelah mencapai moksa, mereka yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".[123]

Tujuan hidup manusia

Filsafat Hindu klasik mengakui beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup manusia—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusartha:[124]
  • Dharma: Dharma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Brihadaranyaka Upanishad memandang dharma sebagai prinsip universal—tentang aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal dari Brahman. Dharma berlaku sebagai prinsip moral bagi alam semesta. Dharma merupakan sat (kebenaran), ajaran pokok dalam agama Hindu. Hal ini berpangkal pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat," (Kebenaran Hanya Satu), dari keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Sacchidananda" (Kebenaran-Kesadaran-Keberkatan). Dharma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, namun kebenaran murni. Dalam Mahabharata, Kresna mendefinisikan dharma sebagai penegak perkara di dunia manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11). Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak mati', atau 'selamanya'; maka, agama Hindu sebagai 'Sanātana Dharma' bermakna suatu dharma yang tidak berawal atau berakhir.[125]
  • Artha: Artha adalah upaya mencari harta demi penghidupan, kewajiban, dan kemakmuran. Hal ini juga mencakup usaha berpolitik, diplomasi, dan kesejahteraan material. Artha dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang makmur sentosa. Ajaran tentang artha disebut Arthashastra, dan yang termasyhur di antaranya adalah Arthashastra karya Kautilya.[126][127][128]
  • Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca indra. Kama dapat pula berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan, kasih sayang, atau cinta.[129][w 7] Akan tetapi, kama dalam percintaan hanya dapat dipenuhi melalui hubungan pernikahan. Kama dibutuhkan dalam membangun kehidupan rumah tangga, atau grihastha.
  • Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa adalah keadaan yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa adalah suatu kondisi saat individu menyadari esensi dan realitas sejati dari alam semesta, sehingga mengalami kemerdekaan dari belenggu samsara, serta lepas dari hasil perbuatan (karma) yang melekatinya selama mengalami proses reinkarnasi.[130]

Jalan menuju Tuhan (Yoga)

Karma Yoga
Karma Yoga
Bhakti Yoga
Bhakti Yoga
Jnana Yoga
Jnana Yoga
Raja Yoga
Raja Yoga
Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara yang berbeda untuk mencapai moksa.
Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan tersebut merupakan yoga, yang dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hatha Yoga Pradipika, dan Upanishad sebagai basis filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak langsung. Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:[131]
  1. Karma Yoga (jalan tindakan yang benar)
  2. Bhakti Yoga (jalan kasih sayang dan pengabdian)
  3. Jnana Yoga (jalan kebijaksanaan)
  4. Raja Yoga (jalan mengendalikan pikiran)
Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah satu-satunya jalan praktis untuk mencapai kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan bahwa dunia sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam siklus Yuga).[132] Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti mengabaikan yang lainnya. Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami berbaur dan mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktik jnana yoga, yang dianggap pasti mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhakti yoga), dan demikian sebaliknya.[133] Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karma yoga, jnana yoga, dan bhakti yoga, baik secara langsung maupun tak langsung.[131][134]

Pustaka suci

Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman (disebut juga Sang Hyang Widhi di Bali) dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
  • Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
  • Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.

Weda

Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para Maha Rsi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi. Ketujuh Maha Rsi tersebut yakni:
  1. Resi Gritsamada
  2. Resi Wasista
  3. Resi Atri
  4. Resi Wiswamitra
  5. Resi Wamadewa
  6. Resi Bharadwaja
  7. Resi Kanwa
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada para Maha Rsi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.
Setelah penyusunan dilakukan, ayat-ayat tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Weda. Sesuai dengan isinya, Weda terbagi menjadi empat, yaitu:
  1. Regweda Samhita
  2. Ayurweda Samhita
  3. Samaweda Samhita
  4. Atharwaweda Samhita
Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran Weda disebut sebagai "Weda yang kelima".

Bhagawadgita

Bhagawadgita merupakan suatu bagian dari kitab Bhismaparwa, yakni kitab keenam dari seri Astadasaparwa kitab Mahabharata, yang berisi percakapan antara Sri Kresna dengan Arjuna menjelang Bharatayuddha terjadi. Diceritakan bahwa Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan Dinasti Kuru jika Bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega untuk membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama.
Kresna yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawadgita.
Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.
Salah satu ilustrasi dalam kitab Warahapurana.
Sebuah ilustrasi dalam kitab Mahabharata, salah satu Itihasa (wiracarita Hindu).

Purana

Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana. Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni:

  1. Matsyapurana
  2. Wisnupurana
  3. Bhagawatapurana
  4. Warahapurana
  5. Wamanapurana
  6. Markandeyapurana
  7. Bayupurana
  8. Agnipurana
  9. Naradapurana

  1. Garudapurana
  2. Linggapurana
  3. Padmapurana
  4. Skandapurana
  5. Bhawisyapurana
  6. Brahmapurana
  7. Brahmandapurana
  8. Brahmawaiwartapurana
  9. Kurmapurana

Itihasa

Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat agama, mitologi, dan cerita tentang makhluk supranatural, yang merupakan manifestasi kekuatan Brahman. Kitab Itihasa disusun oleh para Resi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Resi Walmiki dan Resi Byasa. Itihasa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahabharata.

Kitab lainnya

Selain kitab Weda, Bhagawadgita, Upanishad, Purana dan Itihasa, agama Hindu mengenal berbagai kitab lainnya seperti misalnya: Tantra, Jyotisha, Darsana, Salwasutra, Nitisastra, Kalpa, Chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut tergolong ke dalam kitab Smerti karena memuat ajaran astronomi, ilmu hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan, ilmu bangunan dan pertukangan, dan lain-lain.
Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing sekte dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.

Sistem Catur Warna (Golongan Masyarakat)

Artikel utama: Sistem Golongan Masyarakat dalam Hinduisme
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
  • Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
  • Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
  • Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
  • Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.

Pelaksanaan ritual (Yajña)

Atikel utama: Yajña
Dalam ajaran Hindu, Yajña merupakan pengorbanan suci secara tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada para leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Biasanya diwujudkan dalam ritual yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan umat Hindu. Tujuan pengorbanan tersebut bermacam-macam, bisa untuk memohon keselamatan dunia, keselamatan leluhur, maupun sebagai kewajiban seorang umat Hindu. Bentuk pengorbanan tersebut juga bermacam-macam, salah satunya yang terkenal adalah Ngaben, yaitu ritual yang ditujukan kepada leluhur (Pitra Yadnya).

Catatan kaki

  1. ^ Ada sejumlah pakar yang menilai "ketuaan" agama Hindu di dunia. Agama Hindu sebagai "agama tertua" dinyatakan oleh:
    • Fowler: "probably the oldest religion in the world (mungkin merupakan agama tertua di dunia)"[2]
    • Gellman & Hartman: "Hinduism, the world's oldest religion (Hinduisme, agama tertua di dunia)"[3]
    • Stevens: "Hinduism, the oldest religion in the world (Hinduisme, agama tertua di dunia)"[4]
    • Sarma: "The ‘oldest living religion’ (agama tertua yang masih bertahan)"[5]
    • Meriam-Webster & Klostermaier: "The ‘oldest living major religion’ in the world (salah satu agama besar yang paling tua dan masih bertahan di dunia)"[6][7]
    • Laderman: "World's oldest living civilisation and religion (agama dan peradaban tertua di dunia yang masih bertahan)"[8]
    • Turner: "It is also recognized as the oldest major religion in the world (Ia [Hindu] juga dipahami sebagai salah satu agama besar dunia yang tertua)"[9]
    Di sisi lain, Smart menyebut agama Hindu sebagai salah satu agama termuda: "Hinduism could be seen to be much more recent, though with various ancient roots: in a sense it was formed in the late 19th Century and early 20th Century (Hinduisme terlihat lebih segar seperti sekarang, kendati berasal dari sumber-sumber kuno: dalam pengertian bahwa ia dikukuhkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20)"[10]
    Bandingkan pula dengan:
  2. ^ Hindu juga dikenal dengan Hindū Dharma atau Vaidika-Dharma dalam beberapa bahasa India modern, seperti bahasa Hindi, Bahasa Bengali, dan beberapa turunan Bahasa Indo-Arya, juga beberapa dialek Bahasa Dravida seperti Bahasa Tamil dan Bahasa Kannada.
  3. ^ Kata Sindhu pertama kali disebutkan dalam Regweda.[25][w 1][26]

  1. ^ Georgis, Faris (2010). Alone in Unity: Torments of an Iraqi God-Seeker in North America. Dorrance Publishing. hlm. 62. ISBN 1-4349-0951-4.
  2. ^ Fowler 1997, hlm. 1.
  3. ^ Gellman 2011.
  4. ^ Stevens 2001, hlm. 191.
  5. ^ Sarma 1953.
  6. ^ Merriam-Webster 2000, hlm. 751.
  7. ^ Klostermaier 2007, hlm. 1.
  8. ^ Laderman 2003, hlm. 119.
  9. ^ Turner 1996-B, hlm. 359.
  10. ^ Smart 1993, hlm. 1.
  11. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Harvey
  12. ^ Knott 1998, hlm. 5.
  13. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 12.
  14. ^ Flood 1996, hlm. 16.
  15. ^ Lockard 2007, hlm. 50.
  16. ^ Osborne 2005, hlm. 9.
  17. ^ Samuel 2010, hlm. 193-228.
  18. ^ Raju 1992, hlm. 31.
  19. ^ a b c Doniger, Wendy, "Other sources: the process of "Sanskritization"", Encyclopædia Britannica, "The process, sometimes called "Sanskritization," began in Vedic times and was probably the principal method by which the Hinduism of the Sanskrit texts spread through the subcontinent and into Southeast Asia. Sanskritization still continues in the form of the conversion of tribal groups, and it is reflected in the persistence of the tendency among some Hindus to identify rural and local deities with the gods of the Sanskrit texts."
  20. ^ Flood 1996, hlm. 128, 129, 148.
  21. ^ King 2002.
  22. ^ Michaels 2004.
  23. ^ "The Global Religious Landscape - Hinduism". A Report on the Size and Distribution of the World’s Major Religious Groups as of 2010. The pew foundation. Diakses 31 Maret 2013.
  24. ^ Flood 1996, hlm. 6.
  25. ^ "India", Oxford English Dictionary, edisi kedua, 2100a.d. Oxford University Press.
  26. ^ Subramuniyaswami, Satguru Sivaya (2003). Dancing With Siva: Hinduism's Contemporary Catechism. Himalayan Academy Publications. hlm. 1008. ISBN 9780945497967.
  27. ^ Thapar, R. (1993), Interpreting Early India, Delhi: Oxford University Press, hlm. 77
  28. ^ Thompson Platts, John, A dictionary of Urdu, classical Hindī, and English, W.H. Allen & Co., Oxford University 1884
  29. ^ O'Conell, Joseph T. (1973). "The Word 'Hindu' in Gauḍīya Vaiṣṇava Texts". Journal of the American Oriental Society 93 (3). hlm. 340–344.
  30. ^ Samuel 2010, hlm. 41-42.
  31. ^ White 2006, hlm. 28.
  32. ^ Gomez 2002, hlm. 42.
  33. ^ Doniger 2010, hlm. 66.
  34. ^ Jones 2006, hlm. xvii.
  35. ^ Narayanan 2009, hlm. 11.
  36. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 3.
  37. ^ Jones 2006, hlm. xviii.
  38. ^ Lockard 2007, hlm. 52.
  39. ^ Tiwari 2002, hlm. v.
  40. ^ Larson 2009.
  41. ^ Cousins 2010.
  42. ^ Hiltebeitel 2007, hlm. 13.
  43. ^ Nath 2001, hlm. 21.
  44. ^ nath 2001, hlm. 19.
  45. ^ Nath 2001, hlm. 19.
  46. ^ Samuel 2010, hlm. 193-228, 339-353, terutama hlm.76-79 dan 199.
  47. ^ Samuel 2010, hlm. 76.
  48. ^ Samuel 2010, hlm. 77.
  49. ^ Nath 2001.
  50. ^ Nath 2001, hlm. 31-34.
  51. ^ Nath 2001, hlm. 31.
  52. ^ Gombrich 2006, hlm. 36.
  53. ^ Doniger 1999, hlm. 434.
  54. ^ Smith 1962, hlm. 65.
  55. ^ Halbfass 1991, hlm. 1-22.
  56. ^ Klostermaier 1994, hlm. 1.
  57. ^ Koller 1984.
  58. ^ Flood 1996, hlm. 14.
  59. ^ Southgate, Christopher. God, Humanity, and the Cosmos. T&T Clark Int'l, New York. P. 246. ISBN 0567030164.
  60. ^ Michaels 2004, hlm. 21.
  61. ^ Beversluis 2000, hlm. 50.
  62. ^ Halbfass 1991, hlm. 15.
  63. ^ Nicholson 2010.
  64. ^ Flood 1996, hlm. 35.
  65. ^ A. K. Ramanujan, ed. (1973). Speaking of Śiva. UNESCO. Indian translation series. Penguin classics. Religion and mythology. Penguin India. hlm. 175. ISBN 978-0-14-044270-0.
  66. ^ "Lingayat." Encyclopædia Britannica. 2010. Encyclopædia Britannica Online. 09 Juli. 2010.
  67. ^ "www.worldcatlibraries.org" (Akilam: vacan̲a kāviyam). Publisher: K Patchaimal, Cāmitōppu. Diakses 23 January 2008.
  68. ^ Nicholson 2010, hlm. 2.
  69. ^ Burley 2007, hlm. 34.
  70. ^ Lorenzen 2006, hlm. 24-33.
  71. ^ Lorenzen 2006, hlm. 26-27.
  72. ^ Micaels 2004, hlm. 44.
  73. ^ King 2001.
  74. ^ Adherents.com, dihimpun dari berbagai sumber; The World Almanac & Book of Facts 1998 adalah yang relevan.
  75. ^ J. McDaniel Hinduism, in John Corrigan, The Oxford Handbook of Religion and Emotion, (2007) Oxford University Press, 544 pages, pp.52-53 ISBN 0-19-517021-0
  76. ^ Michaels 2004, hlm. 23.
  77. ^ Michaels 2004, hlm. 22.
  78. ^ Michaels 2004, hlm. 24.
  79. ^ Bhide, Nivedita Raghunath (2008), Swami Vivekananda in America, hlm. 9, ISBN 978-81-89248-22-2
  80. ^ McRae, John R. (1991), "Oriental Verities on the American Frontier: The 1893 World's Parliament of Religions and the Thought of Masao Abe", Buddhist-Christian Studies (University of Hawai'i Press) 11: 7–36, doi:10.2307/1390252, JSTOR 1390252.
  81. ^ Badlani, Hiro (2008), Hinduism: Path of the Ancient Wisdom, iUniverse, hlm. 303, ISBN 978-0-595-70183-4
  82. ^ Lane, Jan-Erik; Ersson, Svante (2005), Culture and politics: a comparative approach (Edition 2), Ashgate Publishing, Ltd, hlm. 149, ISBN 978-0-7546-4578-8
  83. ^ de Lingen, John; Ramsurrun, Pahlad, An Introduction to The Hindu Faith, Sterling Publishers Pvt. Ltd, hlm. 2, ISBN 978-81-207-4086-0
  84. ^ Murthy, BS (2003), Puppets of Faith: theory of communal strife, Bulusu Satyanarayana Murthy, hlm. 7, ISBN 978-81-901911-1-1
  85. ^ Olson, Carl (2007). The many colours of Hinduism: a thematic-historical introduction. Rutgers University Press. hlm. 9. ISBN 978-0-8135-4068-9.
  86. ^ Andrews, Margaret; Boyle, Joyceen (2008). Transcultural concepts in nursing care. Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 386. ISBN 978-0-7817-9037-6.
  87. ^ Dogra, R.C; Dogra, Urmila (2003). Let's know Hinduism: the oldest religion of infinite adaptability and diversity. Star Publications. hlm. 5. ISBN 978-81-7650-056-2.
  88. ^ Weightman 1998, hlm. 262–264
  89. ^ Brodd, Jefferey (2003), World Religions, Winona, MN: Saint Mary's Press, ISBN 978-0-88489-725-5
  90. ^ Rogers, Peter (2009), Ultimate Truth, Book 1, AuthorHouse, hlm. 109, ISBN 978-1-4389-7968-7
  91. ^ Chakravarti, Sitansu (1991), Hinduism, a way of life, Motilal Banarsidass Publ., hlm. 71, ISBN 978-81-208-0899-7
  92. ^ Pattanaik, Devdutt (2002), The man who was a woman and other queer tales of Hindu lore, Routledge, hlm. 38, ISBN 978-1-56023-181-3
  93. ^ Gill, N.S. "Henotheism". About, Inc. Diakses 2007-07-05.
  94. ^ Monier-Williams 1974, hlm. 20–37
  95. ^ a b & Bhaskarananda 1994
  96. ^ Vivekananda 1987
  97. ^ Werner 1994, hlm. p37
  98. ^ Reichenbach, Bruce R. (April 1989), "Karma, causation, and divine intervention", Philosophy East and West (Hawaii: University of Hawaii Press) 39 (2): 135–149 [145], doi:10.2307/1399374, diakses 2009-12-29.
  99. ^ Neville, Robert (2001), Religious truth, hlm. 47, ISBN 978-0-7914-4778-9
  100. ^ Werner 1994, hlm. 7
  101. ^ Monier-Williams 2001
  102. ^ John McCannon (1 Januari 2006). World History Examination. Barron's Educational Series. "In addition to the Brahman, Hinduism recognises literally hundreds of gods and goddesses. Thus, Hinduism is a polytheistic religion. However, Hindus consider all deities to be avatars, or incarnations of the Brahman."
  103. ^ The Popular Encyclopædia. Blackie & Son. 1841. hlm. 61.
  104. ^ Sen Gupta 1986, hlm. viii
  105. ^ Rajadhyaksha (1959), The six systems of Indian philosophy, hlm. 95, "Under the circumstances God becomes an unnecessary metaphysical assumption. Naturally the Sankhyakarikas do not mention God, Vachaspati interprets this as rank atheism."
  106. ^ Neville, Robert (2001), Religious truth, hlm. 51, ISBN 978-0-7914-4778-9
  107. ^ Coward, Harold (February 2008), The perfectibility of human nature in eastern and western thought, hlm. 114, ISBN 978-0-7914-7336-8
  108. ^ Toropov 2011.
  109. ^ Monier-Williams 2001, hlm. 492
  110. ^ Monier-Williams 2001, hlm. 495
  111. ^ Werner 1994, hlm. 80
  112. ^ Renou 1961, hlm. 55
  113. ^ Harman 2004, hlm. 104–106
  114. ^ Apte, Vaman S (1997), The Student's English-Sanskrit Dictionary (ed. New), Delhi: Motilal Banarsidas, ISBN 81-208-0300-0
  115. ^ Smith 1991, hlm. 64
  116. ^ Radhakrishnan 1996, hlm. 254
  117. ^ See Bhagavad Gita XVI.8-20
  118. ^ See Vivekananda, Swami (2005), Jnana Yoga, Kessinger Publishing, ISBN 1-4254-8288-0 301-02 (8th Printing 1993)
  119. ^ Rinehart 2004, hlm. 19–21
  120. ^ Bhaskarananda 1994, hlm. 79–86
  121. ^ Europa Publications Staff (2003), The Far East and Australasia, 2003 - Regional surveys of the world, Routledge, hlm. 39, ISBN 978-1-85743-133-9
  122. ^ Hindu spirituality - Volume 25 of Documenta missionalia, Editrice Pontificia Università Gregoriana, 1999, hlm. 1, ISBN 978-88-7652-818-7
  123. ^ Nikhilananda 1992
  124. ^ The Philosophy of Hinduism: Four Objectives of Human Life ; Dharma (Right Conduct), Artha (Right Wealth), Kama (Right Desire), Moksha (Right Exit [Liberation]), Pustak Mahal, 2006, ISBN 81-223-0945-3
  125. ^ Swami Prabhupādā, A. C. Bhaktivedanta (1986), Bhagavad-gītā as it is, The Bhaktivedanta Book Trust, hlm. 16, ISBN 9780892132683
  126. ^ Radhakrishnan, Sarvepalli (1973). The Hindu View of Life. Pennsylvania State University: Macmillan. hlm. 92.
  127. ^ Sivaraman, Krishna (1997). Hindu spirituality: an encyclopedic history of the religious quest. Postclassical and modern, Volume 2. The Crossroad Publishing Co.,. hlm. 584 pages. ISBN 9780824507558.
  128. ^ Kodayanallur, Vanamamalai Soundara Rajan. Concise classified dictionary of Hinduism. Concept Publishing Company. ISBN 9788170228578.
  129. ^ Macy, Joanna (1975). "The Dialectics of Desire". Numen (BRILL) 22 (2): 145–60. JSTOR 3269765.
  130. ^ Kishore, B. R. (2001). Hinduism. Diamond Pocket Books (P) Ltd. hlm. 152. ISBN 9788128800825.
  131. ^ a b Bhaskarananda 1994
  132. ^ Bhaktivedanta 1997, ch. 11.54
  133. ^ Bhaktivedanta 1997, ch. 5.5)
  134. ^ Monier-Williams 1974, hlm. 116

  1. ^ Regweda
  2. ^ "Mahadana". "The Mauryan Empire" (PDF-study course). University of Oslo. "During the period following Asoka, until the end of the 7th century AD, the great gift ceremonies honoring the Buddha remained the central cult of Indian imperial kingdoms"
  3. ^ "India and Hinduism". Religion of World. ThinkQuest Library. Diakses 2007-07-17.
  4. ^ "Polytheism". Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Online. 2007. Diakses 2007-07-05. Unknown parameter |authoer= ignored (help)
  5. ^ Sāṁkhyapravacana Sūtra I.92.
  6. ^ "Hinduism - Euthanasia and Suicide". BBC. 25 Agustus 2009.
  7. ^ Lorin Roche. "Love-Kama". Diakses 15 July 2011.

Bacaan lebih lanjut

Materi referensi yang dicantumkan di bawah ini, kebanyakan berupa buku dan materi cetak yang ditulis dalam Bahasa Inggris.

Lihat pula

Pranala luar

sumber :  http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar